Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan didalam institusi pendidikan sering terjadi maupun dalam kehidupan sehari-hari dalam ruang lingkup masyarakat. tindakan kekerasan dalam pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, guru dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan stafnya dan ada pula yang terjadi, pada saatnya terjadi perubahan yang menyebabkan terjadi konflik tak jarang dan sering terjadi kekerasan, baik itu secara personal antarpersonal, ataupun tawuran, baik secara kelompok perkelompok atau dengan kelompok lain. Kekerasan itu bisa terjadi antara guru dan guru yang lain, antara guru dan murid, maupun murid satu dengan murid yang lain.
Kekerasan didalam institusi pendidikan sering terjadi maupun dalam kehidupan sehari-hari dalam ruang lingkup masyarakat. tindakan kekerasan dalam pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, guru dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan stafnya dan ada pula yang terjadi, pada saatnya terjadi perubahan yang menyebabkan terjadi konflik tak jarang dan sering terjadi kekerasan, baik itu secara personal antarpersonal, ataupun tawuran, baik secara kelompok perkelompok atau dengan kelompok lain. Kekerasan itu bisa terjadi antara guru dan guru yang lain, antara guru dan murid, maupun murid satu dengan murid yang lain.
Lee parsosns mejelaskan hal lain berkaitan dengan kekerasan disekolah
yang hubungannya adalah itimidasi. Semua sekoah yang melakukan tindakan
intimidasi dan semua sekolah memilki budaya prilaku intimidasi. Dalam budaya
seperti ini, siswa dan orang dewasa sebagai prilaku intimidasi bercampur dalam
pola-pola yang kompleks dan menggelisahkan. Contoh-contoh berikut menggambarkan
rumit-rumitnya hubungan-hubungan ini:
- Beberapa siswa mengintimidasi siswa lain, beberapa siswa pelaku intimidasi ini adalah korban intimidasi dari siswa-siswa lain, beberapa siswa pelaku ini mengintimidasi guru.
- Beberapa guru mengintimidasi siswa, beberapa guru pelaku mengintimidasi guru lain, beberapa guru pelaku mengintimidasi orang tua.
- Beberapa karyawan sekolah mengintimidasi guru, siswa dan orang tua.
- Beberapa kepala sekolah mengintimidasi guru, karyawan, siswa dan orang tua.
- Beberapa orang tua mengintimidasi guru, karyawan sekolah, kepala sekolah, dan anak-anak mereka.
Ironisnya kekerasan dan tawuran antar-peserta didik bukan
hanya terjadi dikalangan pelajar, melainkan juga para mahasiswa, yang
sebenarnya dinilai dari umurnya sudah melampui fase remaja, fase yang
sebenarnya sudah stabil pergolakan batin dan kejiwaan. Sementara, menurut Marcoes, setidaknya ada beberapa hal
yang bisa menjelaskan pola kekerasan bila menggunkan analisis gender.
Pertama, kekerasan hanya terjadi dilalukkan manakala ada
ketimpangan relasi. Dengan begitu, kekerasan bisa dialami siapa saja dalam
hubungan –hubungan yang timpang. Misalnya, kekerasan perbedaan ras, antara
kelompok mayoritas dan kelompok monoritas, antara orang tua/ dewasa kelompok
anak-anak, antar guru dan murid, lelaki dan perempuan/ kakak kelas dan
perempuan yang lebih muda/adik kelas. Disekolah terjadi kekerasan antara kakak
kelas dan adik kelas. Relasi sedemikian
rupa timpanganya sehingga kakak kelas bisa berbuat semena-mena kepada adik
kelas.
Kedua, kekerasan selalu berangkat dari adanya stereotipe tentang korban. Misalnya dalam relasi warga kulit hitam
dan kulit putih, kekerasan berangkat dari suburnya anggapan bahwa orang-orang
yang kulit hitam adalah pelaku kriminal, penjahat, penggedar narkoba. Adanya
anggapan itu membuat warga kulit putih merasa punya legitimasi melakukan
tindakan kekerasan. Tanpa adanya legitimidasi yang dijadikan dasar pembenaran
dari tindakan itu, kekerasan sulit untuk terjadi. Dalam konteks kekerasan pada murid disekolah, stereotipe yang dihidupkan pasti seputar tingkah laku adik kelasnya
yang dinilai sok tahu sombong, tak sopan, melawan, dan tak mau diatur oleh kakak
kelas. Dengan alasan itulah, kakak kelas merasa punya legitimasi mengajari adik
kelasnya. Dengan cara mengajari ini, kelak diharpkan siadik bisa tunduk. Jika
tidak tunduk, yang terjadi lebih gawat. Itulah ciri kekerasan ketiga, yaitu
meningkatnya bentuk kekerasan.
Prilaku atau tindakan
kekerasan tidak hanya didalam institusi pendidikan sekolah, dan kampus.
Kekerasan yang terjadi dinegara kita sudah sering kita lihat dalam
pemberitahaan media masa. Manusia indonesia saat ini terlihat gampang marah dan
gampang meluapkan emosinya, atau mengatasi persoalaan hidupnya yang menghimpit dengan jalan
kekerasan. Persolaan sepele dan persolan bisa menjadi persolaan besar dan
mengakibatkan tawuran banyak orang, satu kampung denfgan kampung lainya, satu
suporter dengan suporter lain. Terkadang, kita menemui contohnya melalui
bagaimana sebuah institusi pendidikan tidak mengikutkan warga atau masyarakat
tempat sekolah itu didirikan, misalnya tukang kebun, petugas keamanaan, ataupun
guru. Masalah tersebut akhirnya meneyebabkan kelompok masyarakat yang tidak
menyukai persitiwa tersebut melakukan aksi kekerasan, entah itu dengan mendemo
sekolahan atau dengan menyegalnya. Persoalaan tersebut akan parah ketika kedua
belak pihak merasa paling benar dan yang lain salah tanpa mau membicarakan
secara baik-baik dan aparat keamanaan atau pihak lain tidak melakukan tindakan
secara efektif.
Disinilah akhirnya melihat bagaimana cara mendalami
persoalaan kekerasan agar tidak muncul adalah persoalaan yang penting tercapainya
tujuan yang diadaakanya pendidikan. Artinya, langkah preventif dalam menangani
atau meminimalisasi munculnya kekerasaan perlu kerja sama antara para pemangku
kebijakan pendidikan nasional, aktivitas pendidikan, dan masyarakat secara
umum.
Banyak faktor yang memunculkan kekerasan. Bisa jadi
kekerasan tersebut muncul karena persolaan keluarga begitu berat, apakah itu
berkaitan dengan perselingkuhan, bahkan penceraian, kemiskinan yang akut dan
terjadi diskriminasi sosial ekonomi dalam sebuah kondisi sosial. Atau dengan
budaya kekerasaan telah menjadi tradisi dalam sekolah dan masyarakat dalam mengatasi
persolaan-persoalaan internal darinya, persolaan keluarga, persolaan
kemasyarakatan, bahkan persolaan kebangsaan.
Oleh karennya,
penangan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sepihak atau sekelompok.
Penangan harus melibatkan semua pihak, mulai dari pola pendidikan keluarga,
pendidikan masyarakat, pendidikan kebangsaan oleh pemerintah dan pendidikan
disekolah, yang semuanya mengajarakan mengatasi persoalan-persoalaan dengan
baik, sederhana, bijaksana, dan menolak kekerasan, baik kekerasan pada orang
lain, kelompok sendiri maupun diri sendiri.